Oleh: Tongato
Anatta
Sannai, M.Pd dan siswa MTs PKP angkatan 2015
Ada orang tua yang
setengah protes ketika ada guru yang menuntut muridnya sempurna dalam
mengerjakan soal mata pelajaran yang diampunya. Padahal sebagai guru mata
pelajaran tertentu pasti dirinya tidak menguasai seluruh mata pelajaran yang
ada. Apalagi untuk tingkat SLTA, yang saat ini mata pelajaran yang ada mencapai
sekitar 16 mata pelajaran. Bila guru mata pelajaran diuji dengan mata pelajaran
yang bukan diampunya, dapat dipastikan perolehan nilainya tidak sesempurna mata
pelajaran yang diampunya. Bahkan mungkin juga nilai ujian mata pelajaran yang
diampunya bisa lebih rendah dari nilai muridnya. Ini terbukti ketika guru
mengikuti Ujian Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, rerata nilai secara nasional
hanya berkisar 5.48.(? cek lg).
Ya, guru itu memang
egois. Menuntut nilai muridnya tinggi, tapi dirinya tidak dapat mencapainya.
Memaksakan agar nilai para muridnya tinggi untuk mata pelajaran yang diampunya,
namun tidak bisa memaksakan dirinya menguasai semua mata pelajaran. Dan semua
guru menuntut hal yang sama. Padahal murid memiliki kecerdasan yang berbeda.
Ada yang cerdas bahasa, belum tentu cerdas bidang sosial, eksakta maupun seni.
Ada yang cerdas seni, namun biasa-biasa saja di bidang eksakta atapun bahasa.
Ada memang murid yang multi cerdas, dikaruniai beragam kecerdasan. Namun,
jumlah mereka tidaklah banyak. Kalau dihitung barangkali tidak mencapai 10
persen dari murid yang ada.
Ya, memang guru itu
egois. Sebagai orang yang telah menjadi guru lebih dari 20 tahun, terasa bahwa
sikap egois itu penting dalam menjalani profesi keguruan, bahkan tampaknya
harus berani menyatakan bahwa saya harus egois sebagai guru. Tentu dengan
catatan egois dalam melihat dan untuk kemudian mengembangkan potensi yang
dimiliki para muridnya. Sebagai guru, tidak bisa membayangkan manakala ada guru
yang tidak menuntut muridnya mengembangkan potensi secara maksimal. Ada
perasaan bersalah bila hal itu tidak dilakukannya.
Apa protes orang tua
berdasar? Tentu ada logikanya. Sebab, memang betul ada anak yang hanya memiliki
kecerdasan mata pelajaran tertentu. Sedangkan mata pelajaran lainnya
biasa-biasa saja kemampuannya. Dan bila dituntut maka hal itu adalah paksaan
yang mestinya kurang baik. Lalu apa logika para guru? Sekolah sebagai rekayasa
sosial yang bersifat klasikal dimaksudkan untuk mengembangkan potensi para
muridnya agar aktual. Dalam proses pencarian, tentu setiap guru menuntutnya
agar setiap jengkal potensinya dapat berkembang dan kemudian tumbuh menjadi
kemampuan yang aktual.
Di sisi lain, dalam
kehidupan bermasyarakat dibutuhkan berbagai kemampuan dalam berinteraksi, baik
yang menyangkut diri dengan dirinya maupun dalam kaitannya relasi dengan orang
lain. Kemampuan ini tentu mesti diasah dengan baik. Adanya tuntutan guru adalah
dalam rangka ini dan juga memaksimalkan semua potensi muridnya. Tidaklah elok
manakala ada kesenjangan kemampuan dalam diri murid. Artinya, jangan sampai
murid nantinya hanya memiliki kemampuan yang tinggi dalam berhitung, namun
lembek dalam berbahasa ataupun sebaliknya. Dan ini semua, kemampuan-kemampuan
yang dibutuhkan, ada dalam setiap mata pelajaran.
Jadi, saya sebagai guru
memang harus egois. Karena saya mencintai para murid saya. Saya akan sedih bila
mereka memiliki potensi, namun alpa tidak diasahnya. Sebagai guru, saya tidak
rela manakala potensi mereka tidak menjadi aktual. Mereka sudah semestinya
mendapatkan layanan pengembangan potensi diri secara keseluruhan. Dan bagi yang
memang hanya memiliki kecerdasan mata pelajaran tertentu, tidaklah masalah.
Asalkan potensi yang ada berkembang secara maksimal. Para guru tentu telah
mahfum tentang hal ini. Dan, mereka toh tidak menuntut semua muridnya dapat
nilai seratus dalam semua mata pelajaran. Cukuplah potensi mereka terfasilitasi
secara optimal.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar