Oleh:
Wawan Ridwan, M.Pd.
Kita patut
bangga bahwa salah satu Pendiri Yayasan PKP (almarhum Dr. (HC) A.M. Fatwa) adalah tokoh
nasional yang sampai akhir hayatnya tetap konsisten dalam menegakkan amar ma’
ruf nahi munkar dengan gaya dan
pendekatan yang tentu berbeda – beda diantara para pendiri PKP. Saya pribadi
mengenal almarhum ketika pertama kali berjumpa pada akhir tahun 1996 di kantor
Komnas HAM Jl. Latuharhary. Menteng. Sebagai anak muda,
tentu sebuah kebanggaan bisa mengenal seorang tokoh nasional yang terkenal
dengan kasus Petisi 50 dan Peristiwa Tanjung Priok,
peristiwa politik yang mengakibatkan beliau mendekam di penjara lebih dari 10
tahun.
Dari pertemuan dan
diskusi dengan almarhumlah saya diminta untuk aktif di Yayasan Pondok Karya Pembangunan, yang saat itu
almarhum aktif menjadi ketua harian. Gaya
kepemimpinan almarhum yang tegas dan visi almarhum bahwa PKP adalah hasil
monumental MTQ yang harus memberikan manfaat yang besar bagi umat Islam. Almarhum ingin PKP sebagai sebuah lembaga memiliki
nuansa seperti pondok pesantren pada umumnya. Untuk
itu, almarhum membentuk unit kepesantrenan
yang dipimpin oleh almarhum A. Yani Wahid, aktifis Islam dan teman semasa di penjara. Almarhum bahkan mengajak almarhum H. Ali
Sadikin untuk aktif dan memperhatikan PKP yang beliau sendiri sudah lupa akan
keberadaan PKP. Bahkan wasiat almarhumah
Hj. Nani Sadikin
yang ingin mendirikan masjid juga diingatkan kembali oleh almarhum kepada Ali H. Sadikin. Dan almarhum
A.M. Fatwa mengusulkannya untuk membangunkan masjid di lingkungan Kampus PKP yang sekarang berdiri megah dengan nama
masjid Baitushshidqi.
Untuk
penamaan masjid, juga tidak lepas dari usulan almarhum
yang saat itu itu berdiskusi dengan almarhum Yani Wahid dan penulis. Pada awalnya,
diusulkan kepada almarhum H. Ali Sadikin dua nama yaitu: masjid
Nurul Quran yang terinsiprasi dari sejarah PKP sebagai proyek monumental MTQ V
tahun 1972
dan masjid Baitushshsidqi
yang terinspirasi dari jejak almarhum dalam menegakkan prinsip-prinspi
kebenaran dalam amar ma’ruf nahi munkar
serta melekatkan nama “Sadikin” diambil
akar kata bahasa Arab yang lebih dekat dengan kalimat Baitushshidqi.
Akhir 1998, almarhum sebagai seorang politisi senior aktif
terlibat dalam gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru yang merubah
tatanan kehidupan sosial politik di negeri ini. Aktifitas
politik yang tadinya dikekang berubah,
banyak tawanan politik yang dibebaskan termasuk kawan-kawan beliau sesama
korban politik,
diantaranya Fauzi Isman dan Darsono.
(Kasus Talang Sari, Lampung 1989) yang dikenalkan kepada penulis. Pada tahun
1999 terjadi peralihan periode kepengurusan dari almarhum ke ketua umum yang
baru (alm) H. Amien HS. Karena kesibukan almarhum di parlemen,
menjabat Wakil Ketua DPR periode 1999-2004 dan Wakil Ketua MPR 2004 – 2009, sejak itu penulis jarang bertemu dan berdiskusi
tentang PKP.
Silaturahim secara
personal tetap terjalin walaupun dengan pertemuan yang terbatas.
Dari beberapa pertemuan dan diskusi, penulis menilai almarhum sosok yang tegas dalam hal
– hal yang prinsipil. Bahkan ketegasan itu
juga berlaku pada sahabat dekat sekalipun. Beliau
berserita bagaimana Pak Usep Fathuddin sebagai
salah satu Direktur di kampus
pernah diminta non aktif dari Yayasan PKP. Hubungan
silaturahim secara pribadi dengan beliau tetap baik dan terjaga. Selain tegas, almarhum adalah sosok pekerja keras. Waktu dulu almarhum masih aktif di PKP, penulis selalu on
call,
harus siap kapanpun. Almarhum adalah sosok “energizer” sejati yang selalu
mengajarkan tentang nilai-nilai disiplin, kerja keras, dan keikhlasan.
Almarhum
mulai aktif kembali di PKP sejak kepengurusan Ketua Umum Drs. K.H. Amidhan. Sebagai
Wakil Ketua Pembina dan penulis diminta di Badan
Pembina, kebiasaan almarhum senang diskusi dan mendengarkan masukan dari
berbagai pihak yang terkait sebelum mengambil keputusan. Keputusannya
komplementer dan terukur, walaupun terkadang menimbulkan
“gejolak” Berdiskusi dengan beliau mengasikkan,
bahkan dua hari sebelum meninggal, penulis masih ngobrol
dengan almarhum di RS MNC. Kematian adalah sesuatu yang pasti datang.
Pada akhirnya,
banyak nilai-nilai warisan dari almarhum khususnya atau dari para Pendiri Yayasan yang sudah meninggal dunia bisa
dijadikan budaya organisasi kampus PKP. Ketegasan, konsisten, kejujuran, keadilan dan
keberanian adalah warisan nilai yang
harus tetap dijadikan cermin dalam membuat sebuah kebijakan.
Akhirnya,
mari kita doakan khususnya bagi almarhum A.M. Fatwa, dan para Pendiri Yayasan PKP semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan diampuni
segala kesalahannya. Amien, al fathihah.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar