Aleppo. Kota yang terletak di sebelah Utara Suriah ini kerap disebut dalam kajian peradaban Islam. Sejatinya, Aleppo memang merupakan salah satu kota paling penting dalam sejarah Islam. Sejak 15 abad lalu, Aleppo telah menjelma menjadi kota terkemuka dalam bidang ekonomi, sejarah, artistik, dan kebudayaan.
Tak heran jika pada tahun 2006, Islamic Educational Scientific and Cultural Organization (ISESCO) - organisasi kebudayaan Organisasi Konferensi Islam (OKI) - mendaulat Aleppo sebagai ibu kota kebudayaan Islam. Aleppo dinilai mampu mewakili tipe kota Islam yang ideal dalam konteks toleransi hubungan beragama.
Secara arsitektur, Aleppo juga mampu merepresentasikan sebuah kota Islam. Betapa tidak, bangunan berarsitektur Islam sejak abad ke-16 H masih kokoh berdiri. Tak cuma itu, warisan arsitektur dari beragam dinasti seperti, Umayyah, Abbasiyah, Hamdaniyah, Seljuk, Zankiyah, Ayubiyah, Mamluk, hingga Usmani masih menghias kota Aleppo.
Warisan arsitektur itu berupa istana, pintu, pasar, rumah peristirahatan, masjid, rumah sakit, pemandian umum, dan rumah-rumah bersejarah. Selain itu, Aleppo pun telah melahirkan sejumlah tokoh penting dalam khazanah keilmuwan dan peradaban Islam. Allepo pun telah menjadi semacam museum hidup bagi beragam peradaban.
Aleppo merupakan salah satu kota tertua dalam sejarah manusia. Kota itu sudah didiami manusia sejak abad ke-11 SM. Fakta sejarah itu terkuak dengan ditemukannya pemukiman di Bukit Al-Qaramel. Kota ini pun telah dikuasai oleh beragam bangsa dan peradaban sejak abad ke-4 SM, seperti; Sumeria, Akadian, Amorites, Babylonia, Hithies, Mitanian, Assyria, Arametes, Chaldeans, Yunani, Romawi, dan Bizantium.
Itulah mengapa kota Aleppo begitu banyak disebut-sebut dalam catatan sejarah dan lembaran kuno. Kali pertama, nama Aleppo disebut dalam lembaran kuno dari abad ke-3 SM. Jejak Aleppo juga terkuak selama masa kekuasaan Raja Akkadian, anak Sargon (2530 SM - 2515 SM). Aleppo kuno sempat mencapai masa kejayaannya pada masa kekuasaan Raja Hammurabi, Babilonia. Ketika dikuasai Romawi pada abad ke-5 M, agama Kristen pun menyebar di bumi Aleppo.
Peradaban kota tua itu memasuki babak baru ketika Islam menancapkan benderanya pada 637 M. Di bawah komando Khalid bin Al- Walid, pasukan tentara Islam berhasil memasuki kota Aleppo melalui gerbang Antakya.
Tak sulit dan tak butuh waktu lama bagi umat Islam untuk menyebarkan bahasa Arab di Aleppo. Pasalnya, penduduk di kota itu berbahasa Assyria yang tak jauh beda dengan bahasa Arab. Semenjak jatuh ke pelukan umat Islam, Aleppo pun melalui dan mengalami masa pasang-surut.
Era Khalifah
(16-222 H/ 636-836 M)
Selama berada dalam kekuasaan kekhalifahan, Aleppo belum mampu mencapai masa kejayaan. Tak juga dalam era Umayyah dan Abbasiyah. Sejarah mencatat, di akhir masa kekuasaan Abbasiyah, kota Aleppo mengalami masa kemakmuran.
Kala itu, kebudayaan, intelektual dan peradaban berkembang begitu pesat di semua bidang. Salah satu bukti tumbuh pesatnya peradaban di bumi Aleppo ditandai dengan kemampuan orang-orang Aleppo untuk membuat pakaian yang amat bagus serta berdirinya istana dan sejumlah masjid terkemuka di kota itu.
Era Pasca-Khalifah
(223-532 H /837-1128 M)
Aleppo mencapai kemasyhuran dalam sejarah bangsa Arab ketika Sayf Addawla Al Hamadani menguasai kota itu. Aleppo pun kembali mencapai kemakmuran dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan sastra. Pada masa itu Aleppo pun menjadi ibu kota pemerintahan.
Berkembang pesatnya peradaban turut melahirkan sejumlah penulis, sastrawan dan ilmuwan terkemuka, seperti; Abu Firas Al Hamadani dan Abu Tayyeb Al Mutanabbi. Kota Aleppo pun bertambah luas meliputi; Kelikiya, Malatya, Diarbekir, Antioch, Tarsus, Mardin dan Roum Qal'a. Pada tahun 353 H, Aleppo diserang imperium Romawi.
Penduduk dibunuhi serta dijadikan budak dan bangunan-bangunan dihancurkan. Sayf Addawla melihat kota yang dibangunnya telah hancur. Ia lalu membangun kembali jembatan, bangunan, dan tembok yang telah porak-poranda. Dia mengundang orang-orang dari Qisrin untuk tinggal di kota itu. Setelah, Sayf Addawla tutup usia, selama dua abad Aleppo terperosok dalam kubangan anarki dan kekacauan.
Setelah itu, Aleppo dikuasai Dinasti Fatimiyah, Mirdassid, Turki, dan kemudian jatuh ke pangkuan Seljuk. Setelah itu Aleppo kembali diambil alih Romawi dan pada 1108 M diserbu pasukan Perang Salib (Crusader).
Kota yang diliputi anarki itu kembali pulih ketika Imad ad-Din Zengi menjadi Pangeran Aleppo. Semenjak dikuasai Pangeran Imad ad-Din dan anaknya Nur ad-Din Mahmud, Aleppo berada di bawah kekuasaan Negara Nurid (523-579 H/1128 M - 1260 M). Kondisi Aleppo pun mulai pulih. Sayangnya pada 1170 M, kota Aleppo hancur diguncang gempa bumi. Nur ad-Din kembali membangun kota yang telah hancur. Setelah Nur ad-Din wafat, Aleppo dikuasai oleh anaknya. Tampuk kekuasaan lalu beralih ke Salahudin Al-Ayubi dan kemudian berpindah ke tangan Raja Al-Zahir Ghazi - seorang raja yang hebat dan reformis.
Aleppo kembali mencapai kejayaannya pada era Dinasti Ayyubiyah (579-659 H/1183 M - 1260 M). Salah satu raja yang tersohor waktu itu bernama Ghazi Ibn Salah Eddine. Dia melindungi Aleppo dan kembali membuat nama Aleppo harum dan disegani. Era keemasan itu berakhir pada 1260 M, ketika bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan menghancurkan Aleppo.
Pada 1400 M, Mongol terusir dari Aleppo setelah ditaklukan Dinasti Mamluk. Raja Ashraf Sayf Eddine Qalawoun kembali membangun kota Allepo. Setahun kemudia, Mongol lagi-lagi diserang Mongol dibawah pimpinan Timur Lenk. Mamluk kembali menguasai Aleppo dan memulihkan lagi kota segala peradaban itu.
Di era kekuasaan Sultan Qaitibay, di Aleppo dibangun Masjid Firdaus dan Khan Saboun. Kekuasaan Mamluk berakhir pada 922 H /1516 M. Setelah itu, Aleppo dikuasai kerajaan Usmani Turki (922-1337 H/- 1516-1918 M). Kota itu juga sempat diduduki tentara Prancis hingga 1946. Sejak itu, Aleppo menjadi salah provinsi Suriah.
Masjid Agung ALEPPO
Sulaiman dari Dinasti Umayyah pada 717 M, Masjid Agung Aleppo hingga kini masih menjadi salah satu karya besar arsitektur di dunia Muslim. Membangun Masjid Aleppo merupakan cita-cita Khalifah Al-Walid yang tak kesampaian.
Setelah sukses membangun Masjid Agung Damaskus, Al-Walid ingin membangun masjid serupa di Aleppo. Ketika pengerjaan Masjid Agung Aleppo baru berlangsung, Al-Walid telah berpulang. Tugas untuk membangun masjid yang kini masih berdiri kokoh di Suriah itu dilanjutkan penggantinya Khalifah Sulaiman. Pembangunan masjid itu akhirnya selesai pada tahun 717 M.
Seiring dengan bergulirnya kekuasaan di Aleppo, pada tahun 1158 M, Masjid Agung Aleppo diperluas oleh Nur Al- Din Zangi. Kebanyakan ilmuwan menyatakan, Masjid Agung Damaskus dan Aleppo sebagai masjid kembar dari sisi bentuk arsitektur. Terlebih, keduanya terletak di bekas kekuasaan Romawi dan Bizantium.
Selain itu, di Masjid Agung Aleppo terdapat makam Nabi Zakariya dan di Damaskus terdapat makam Nabi Yahya. Meski begitu, bentukdan konstruksi Masjid Agung Damaskus dari dulu hingga kini masih terjaga. Sedangkan, Masjid Aleppo sudah banyak mengalami perubahan dari aslinya, karena Aleppo sempat diguncang gempa bumi dan dihancurkan oleh serangan-serangan dari Bizantium dan tentara Mongol.
Perubahan mulai terjadi pada Masjid Agung Aleppo, ketika Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah. Menurut Sejarawan Al-Ghazi, Daulah Abbasiyah banyak mengambil mosaik, ukiran dan aksesoris seni masjid itu. Abbasiyah memindahkannya ke masjid mereka di Al-Anbar di Irak.
Namun, sejarawan Ibnu Al-Adhim memiliki cerita yang lain. Menurut dia, hilangnya mosaik Masjid Agung Aleppo justru terjadi akibat ulah Bizantium pada 962 M. Kaisar Nicephorus melakukan perusakan dan aksi vandalisme ketika Bizantium mencoba menguasai kembali Aleppo. Mereka membakar dan menghancurkan mosaik Masjid Aleppo.
Masjid Agung Aleppo kembali dibangun pada masa kekuasaan Emir Syaft A-Dawlah dari Dinasti Hamanid. Di bawah kekuasaannya, Aleppo mencapai kejayaannya dan menjelma menjadi negeri yang makmur. Aleppo pun dijadikan ibu kota pemerintahan Hamanid dan menjadi pusat kebudayaan yang penting. Sayf Al-Dawlah memberi perhatian yang begitu besar untuk membangun kembali masjid-masjid yang dibakar.
Bagian masjid yang masih asli buatan abad ke-8 M yang masih tersisa waktu itu hanyalah halaman yang dikelilingi tembok, kubah, dan air mancur. Sehingga, Dinasti Hamanid melakukan perbaikan secara besar-besaran. Dinasti Seljuk juga sempat merenovasi Masjid Agung Aleppo pada abad ke-11 M dan mulai membangunkan menara.
Meski tak lagi mewarisi struktur masjid peninggalan Umayyah, namun Masjid Agung Aleppo sangat dikenal sebagai masterpiece dalam dunia Islam. ‘'Pada abad ke-15 M, Masjid Agung Aleppo bersaing dengan Masjid Damaskus dalam hal dekorasi, cat, serta mosaik,'' papar Ibnu Al-Shihna. Masjid Agung Aleppo paling tidak mewarisi sentuhan dari beragam dinasti Islam yang pernah berjaya.
Tokoh-tokoh yang Berkarya di Aleppo
Al-Farabi
Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agamaagama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
Al-Farabi mengembangkan karyakaryanya di Aleppo. Pada akhir tahun 942 M, dia hengkang dari Baghdad ke Aleppo, karena situasi politik yang memburuk. Selama dua tahun tinggal di Aleppo, pada siang hari Al- Farabi bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari, dia membaca dan menulis karya-karya filsafat. Ia sempat pula hijrah ke Mesir dan lalu kembali lagi ke Damaskus pada 949 M.
Ketika tinggal di Aleppo untuk yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Suriah, Syaf al- Daulah. Syaf al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya, serta penguasaannya atas berbagai bahasa.
Ratusan kitab telah dihasilkan Al- Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya tetap hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Ia tutup usia di Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla kemudian membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab as- Saghir yang terletak di dekat makam Muawiyah, yang merupakan pendiri dinasti Ummayah.
Al-Khawarizmi (780 M-830 M)
Sebagian besar hidup al- Khawarizmi didedikasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Sederet karya lahir dari buah pikirnya. Aljabar merupakan buku pertama karya Khawarizmi yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Tak heran, bila kemudian dunia mendaulatnya sebagai Bapak Aljabar. Berkat jasanya pula, sistem penomoran posisi desimal terlahir.
Kontribusinya yang begitu berdampak besar tak hanya dalam matematika. Dalam masalah kebahasaan pun, Khawarizmi begitu berpengaruh. Kata logarisme dan logaritma yang diambil dari kata Algorismi merupakan Latinisasi dari nama beliau. Nama beliau juga diserap dalam bahasa Spanyol Guarismo dan dalam bahasa Portugis, Algarismo yang berarti digit.
Ilmuwan Islam yang bergelar Abu Ja'far itu antara lain telah melahirkan berbagai karya seperti; sistem Nomor lewat kitabnya berjudul Mufatih al-Ulum yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin De Numero Indorum. Al-Jami wa al-Tafsir bi Hisab al-Hind merupakan hasil pemikiran Khwawarizmi.
Kitab tentang Aljabar lainnya yang ditulis Khawarizmi adalah Al- Mukhtasar Fi Hisab al-Jabr wa al- Muqabalah. Kitab ini diterbitkan pada 820 M. Khawarizmi juga menulis kitab berjudul Al-Jabr wa'l Muqabalah yang membahas penggunaan secans dan tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi. Kitab yang paling fenomenal adalah Hisab al-Jabr wa al- Muqabalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar